Minggu, 06 Juli 2014

Penalaran Sebagai Dasar Pemahaman Filsafat

Filsafat timbul karena adanya keheranan. Manusia adalah salah satu makhluk dapat mengalami keheranan. Siapa yang heran tentu ada yang diherankan. Ada subjek yang heran dan ada objek yang diherankan. Keduanya saling berhadapan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Manusia mungkin heran tentang keadaan yang ada disekitarnya. Ia dapat meluaskan keherannnya meliputi semua kenyataan, bahkan dapat memasukkan dirinya sendiri ke dalam keheranan itu. Manusia dapat berdialog dengan dirinya sendiri, menjadikan dirinya sebagai objek keheranan, pertanyaan, atau pemikiran.

            Keheranan manusia itu dinyatakan dengan pertanyaan. Manusia mahluk adalah penanya. Karena takjub, kagum, bercampur heran manusia bertanya dan bertanya terus. Setiap jawaban selalu mengandung dan mengundang pertanyaan baru. Jean Paul Sartre, seorang filosof alairan aliran eksistensialisme perancis mengatakan, kesadaran manusia bersifat bertanya yang sebenar-benarnya. Sementara itu R.F. Beerling, seorang filosof Belanda mengatakan manusia baru dikatakan manusia, kalau ia bangun melihat sekelilingnya dan bertanya kepada dirinya sendiri, “Apa gerangan yang terjadi?”.
            Filsafat bertitik pangkal pada pertanyaan yang merupakan tali pengikat antara manusia dengan peristiwa. Berfilsafat berarti bertanya disertai rasa heran. Sutan Takdir Alisyahbana menyimpulkan bahwa pekerjaan berfilsafat itu adalah berpikir. Hanya manusia yang telah tiba pada tingkat berpikir, yang berfilsafat. Naumun tidak semua yang berpikir itu disebut sebagai berfilsafat, karena ada syaratnya. Syarat utamanya ialah keinsyafan. Berfilsafat ialah berpikir dengan insyaf, yaitu berpikir dengan teliti, menurut suatu aturan yang tertentu. Orang yang berfilsafat itu dengan teliti dan beraturan memikirkan segala ke dalam pikirannya dari seluruh alam, baik yang di luar maupun yang ada dalam dirinya. Menurut Imam Bernadib, manusia mulai berfilsafat jika berpikir dengan teliti dan teratur memecahkan masalah-masalah dan memandang permasalahan itu dari sudut yang hakiki. Selanjutnya D.C. Mulder, sekalipun berfilsafat itu adalah berpikir, namun tidak berarti bahwa berpikir sama dengan berfilsafat. Banyak orang berpikir tetapi tidak berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir dengan cara tertentu, yaitu berpikir secara ilmiah.
            Berkaitan dengan penalaran Moeliono (1989:124) memberikan batasan bahwa penalaran merupakan proses mengambil simpulan dari bahan bukti atau petunjuk ataupun yang dianggap bahan bukti atau petunjuk. Pendapat yang agak senada dikemukakan oleh Suriasumantri (1993:42) yakni penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu simpulan yang berupa pengetahuan. Dengan kata lain, penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan.
            Keraf (1992:5) memandang penalaran sebagai salah satu proses berpikir yang mengikuti cara-cara atau langkah-langkah tertentu untuk mencapai suatu simpulan yang diandalkan. Masalah penalaran adalah masalah bagaimana merumuskan pendapat yang benar sebagai hasil dari proses berpikir bagaimana menerangkan kata-kata, kalimat atau simpulan-simpulan individual menjadi simpulan umum. Demikian pula halnya dengan pendapat Suhendar (1992:44) yang menyatakan bahwa penalaran adalah kegiatan berpikir yang lebih tinggi , yang dilakukan secara sadar, tersusun dalam urutan yang saling berhubungan serta bertujuan untuk memperoleh simpulan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Poespoprojo (1985:8) menegaskan bahwa penalaran adalah suatu penjelasan  yang menunjukkan kaitan antara dua hal atau lebih yang berdasarkan pada alasan-alasan atau langkah-langkah tertentu sehingga sampai pada suatu kesimpulan.
            Berdasarkan pandangan para pakar di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan berpikir  bertolak pada suatu analisis dan kerangka pikir yang menggunakan logika penalaran. Sifat analitik penalaran merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis. Dengan demikian, analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.Seperti telah dipaparkan bahwa pengetahuan yang dihasilkan dari proses penalaran merupakan pengetahuan yang  benar. Sehubungan dengan masalah kebenaran ini, Suriasumantri mengemukakan ada tiga kriteria kebenaran yang masing-masing berdasar pada teori koherensi, teori korespondensi, dan teori kebenaran pragmatis. Menurut teori koherensi, pernyataan atau kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar. Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi atau berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran dimaksudkan sebagai suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta  empiris yang mendukung pernyataan itu.

            Sebagai suatu proses penarikan kesimpulan secara umum, penalaran dibedakan dari (1) penalaran induktif, dan (2) penalaran deduktif. Induksi ditafsirkan sebagai penalaran yang bertolak pada yang khusus atau spesifik menuju pada kesimpulan yang umum. Sebaliknya, deduksi adalah penalaran dari yang umum ke yang khusus untuk mencapai suatu kesimpulan.

            Penalaran induktif termasuk di dalamnya adalah bentuk penalaran  (a) generalisasi, (b) analog, dan (c) hubungan kausal. Berbagai jenis penalaran yang dikemukakan ini dijelaskan sebagai berikut :

Generalisasi induktif ialah proses penalaran yang bertolak pada sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tersebut. Menurut Moeliono, banyak perampatan induktif berdasarkan fakta, tetapi banyak juga yang berdasarkan asumsi atau pengandaian. Pengandaian itu adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar walaupun belum atau tidak dapat dibuktikan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Barker (1989: 83) menjelaskan bahwa generalisasi induktif adalah penalaran induktif yang menyuguhkan sejumlah fakta yang diamati dari sekelompok anggota kelas untuk menarik kesimpulan secara keseluruhan. 

            Analog atau sering disebut analog induktif ialah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu dengan yang lain, selanjutnya menarik kesimpulan bahwa yang berlaku untuk satu hal akan berlaku pula dengan hal yang lain. Arifin dan Tasai (1988:25) menjelaskan bahwa analogi merupakan cara penarikan kesimpulan dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama. Sementara itu, analogi induktif  merupakan penalaran induktif yang menyajikan suatu kesimpulan mengenai kasus tunggal berdasarkan kemiripan antara kasus tersebut dengan kasus-kasus lain yang diamati sebelumnya.

            Hubungan kausal adalah penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan. Dicontohkan, ketika tombol ditekan bel berbunyi. Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan kausal ini sering dijumpai. Misalnya, hujan turun dan jalan-jalan becek. Orang yang terkena penyakit kanker darah dan meninggal dunia. Jenis hubungan kausal yang lain adalah proses penalaran yang bertolak dari suatu akibat yang lain, tanpa menyebut atau mencari sebab umum yang menimbulkan kedua akibat itu. Mengacu pada hubungan kausal ini, maka semua peristiwa mempunyai sebab yang dapat diketahui jika manusia berupaya menyelidikinya dan tentu bila manusia itu memiliki pengetahuan yang memadai untuk melakukan penyelidikan itu.

            Rumusan prinsip metode perbedaan adalah apabila sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, semua faktornya sama kecuali satu, maka faktor satu-satunya yang menyebabkan kedua peristiwa itu berbeda adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebab gejala tersebut. Penarikan kesimpulan yang menggunakan metode persamaan dan metode perbedaan secara bersama-sama dapat dikatakan menggunakan metode gabungan. Penggunaan metode gabungan dipandang dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih kuat sebab dengan menggunakan masing-masing metode secara terpisah pun sudah dapat ditarik suatu kesimpulan.

            Penalaran deduktif menggunakan peralatan silogisme, yaitu suatu bentuk penalaran formal dengan menghubungkan dua proposisi yang berlainan untuk menarik kesimpulan. Silogisme terdiri atas tiga kalimat atau proposisi. Dua kalimat pertama disebut premis, sedangkan kalimat ketiga disebut kesimpulan. Kedua proposisi itu dalam silogisme sering disebut sebagai premis, yaitu premis mayor dan premis minor. Premis mayor adalah perampatan yang meliputi semua kategori, sedangkan premis minor adalah penyamaan suatu objek atau ide dengan unsur yang dicakup oleh premis mayor.
            Menurut prinsip pertama, dua hal pokok sama, jika keduanya sama dengan hal ketiga. Menurut prinsip kedua, dua hal adalah berbeda dengan jika yang satu sama dengan hal yang ketiga, sedangkan yang lain tidak sama dengan hal ketiga tersebut. Berdasarkan prinsip ketiga, apa yang berlaku secara deskriptif untuk suatu kelas yaitu berlaku untuk semua dan masing-masing anggotanya. Akhirnya, menurut prinsip keempat, apa yang diingkari tentang sesuatu kelas secara distributif, juga diingkari pada tiap-tiap anggotanya.
            Menurut pendapat Baum (1981: 104), silogisme kategorial (categorical syllogism) disusun secara tepat berdasrkan tiga pernyataan kategorial atau istilah yang berbeda. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bentuk baku silogisme tersebut terdiri atas dua bentuk premis dan satu bentuk kesimpulan. Premis pertama disebut premis major  dan kedua disebut premis minor. Dicontohkan sebagai berikut:
            Semua lulusan perguruan tinggi adalah orang yang berpendidikan.
            Semua pegawai di perusahaan ini adalah lulusan perguruan tinggi.
            Jadi, semua pegawai di perusahaan ini adalah orang yang berpendidikan.
Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian ialah semacam penalaran deduktif yang mengandung hipotesis. Silogisme ini bertolak dari satu pendirian bahwa ada  kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi.
            Banyak penalaran yang tidak semua unsur proposisinya dinyatakan secara eksplisit atau salah satunya dihilangkan. Meskipun dihilangkan, proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran dan dianggap diketahui pula oleh orang lain. Bentuk semacam itu disebut entimen. Selaras dengan pernyataan ini, Carney (1980: 8)  berpendapat bahwa entimen adalah beberapa argumen yang tidak dinyatakan secara penuh. Jadi, entimen akan berarti jika proposisi yang tidak dinyatakan secara eksplisit tersebut sudah jelas. Kejelasan ini dapat terjadi karena memang sudah jelas dengan sendirinya atau karena merupakan pengetahuan umum atau karena terdapat dalam konteks komunikasi. Sebagai contoh.
            Semua anggota dewan korupsi karena semua manusia korupsi.
            Semua manusia korupsi.
            Semua anggota dewan adalah manusia
            Jadi, semua anggota dewan korupsi
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya dulu sebelum ditutup ya