Minggu, 06 Juli 2014

Filsafat dan Berpikir

Dalam ilmu pengetahuan, eksistensi filsafat mempunyai kedudukan sentral, asal atau pokok, karena filsafatlah yang mula-mula merupakan satu-satunya usaha manusia di bidang kerohanian untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan. Lambat laun sesuai dengan sifatnya, manusia tidak pernah merasa puas dengan meninjau suatu hal dari sudut yang umum, melainkan juga memperlihatkan hal-hal yang khusus. Akhirnya kemudian timbullah penyelidikan mengenai hal-hal yang khusus yang sebelumnya masuk lingkungan filsafat. Jika penyelidikan ini telah mencapai tingkat yang tinggi, maka cabang penyelidikan itu melepaskan diri dari filsafat sebagai cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
            Walaupun teori dan filsafat itu adalah upaya intelektual, namun pada dasarnya lebih merupakan upaya yang mengandung perasaan dan imajinasi. Sebelum filosof menganalisis peristiwa secara filosofis, Plato  menggambarkannya sebagai peningkatan dari bayangan gelap gua ke dunia cemerlang yang disinari matahari. Filsosofis tertarik pada prinsip-prinsip umum dari setiap gejala, objek, proses, atau bidang studi. Prinsip-prinsip itu bersifat umum, jika memahami sejumlah besar gejala.
            Aristoteles mengatakan bahwa semua benda yang kita saksikan dalam pengalaman hidup kita adalah benda yang sebenarnya dan nyata, bukan khayalan atau bayangan. Filsafat Aristoteles berpijak pada kenyataan yang berada di dunia nyata, oleh sebab itu aliran filsafatnya disebut realisme. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong proses kehidupan umat manusia di bumi ini ratusan tahun lebih maju dari abad-abad sebelumnya. Untuk menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, sistem pendidikan, teori pendidikan, dan filsafat pendidikan, dan peralatan pendidikan tradisional tidak dapat menjawab tantangan zaman sekarang yang kita hadapi.
            Filsafat pendidikan tergantung pada filsafat umum sejauh masalah-masalah pendidikan itu berkarakter filsafat umum. Kita tak dapat mengkritik adanya kebijakan pendidikan atau menyarankan suatu yang baru tanpa mempertimbangkan masalah-masalah filosofik, seperti (a) sifat hidup yang baik, (b) sifat manusia itu sendiri, (c) sifat masyarakat, karena pendidikan adalah proses sosial, dan (d) sifat realita yang utama, yang merupakan sasaran semua pengetahuan untuk ditembus.
            Berpikir sebagai manifestasi dari berfilsafat adalah suatu kegiatan yang sering dilakukan manusia di dalam kehidupannya. Suriasumantri (1993:42) menegaskan bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya itu bersumber dari pengetahuan yang diperolehnya melalui kegiatan berpikir dan merasa. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir, dan bukan dengan perasaan. Akan tetapi, harus diketahui bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada kegiatan penalaran, sebab ada kegiatan berpikir yang tidak berdasarkan penalaran yakni intuisi. Penalaran sebagai suatu kegiatan berpikir memiliki ciri-ciri tertentu, yakni (1) bersifat logis, artinya sebagai kegiatan berpikir yang menurut suatu pola tertentu atau sesuai dengan logika, dan (2) bersifat analitik artinya sebagai kegiatan berpikir dengan alur tertentu yang merupakan konsekuensi dari adanya pola berpikir tersebut.
            Berkaitan dengan istilah logika, sebagai salah satu ciri kegiatan penalaran, Moeliono (1989: 124) menyatakan bahwa pada hakikatnya logika adalah pengetahuan tentang kaidah berpikir. Pendapat lain dikemukakan oleh Suriasumantri yang menegaskan bahwa logika merupakan pengkajian untuk berpikir secara sahih, sedangkan Poespoprojo (1985:5) menyatakan bahwa dalam logika dipelajari aturan atau patokan-patokan yang harus diperhatikan untuk dapat berpikir secara tepat,teliti, dan teratur agar mencapai kebenaran.
Metode ilmiah selalu mengarahkan dan membatasi bahasa itu. Bahasa ilmiah sedapat mungkin bebas nilai. Pemerian maupun keterangan mengenai keadaan nyata tidak tunduk kepada anjuran untuk berbuat sesuatu dalam keadaan tertentu. Memang pada ilmu-ilmu terapan, pemerian-pemerian semacam itu bersentuhan dengan bidang keputusan sahri-hari, dan juga dipengaruhi olehnya. Namun dalam hal semacam ini pun akan diusahakan agar masalah-masalah nilai yang akan muncul sedapat mungkin dikuasai oleh metode ilmiah untuk membatasinya. Penilaian seakan-akan diterjemahkan ke dalam bahasa ilmiah yang diatur dengan lebih ketat. Apabila seorang ekonom atau ahli psikologi memakai istilah nilai  maka artinya lebih khas dan lebih sempit dibandingkan dengan artinya dalam bahasa sehari-hari, oleh karena itu lebih tepat dipakai oleh ilmu. Bahasa ilmiah tidak ditujukan kepada pribadi-pribadi yang bermakna. Dapat saja bahwa sains menelaah hubungan antara norma-norma tertentu dengan para warga salah satu bagian kebudayaan.
            Apabila mengajarkan suatu ilmu, seseorang menggunakan bahasa harian untuk membahas ilmu tertentu, namun dalam bahasa ilmu hal itu tidak mungkin. Dalam logika atau pada bagian-bagian matematika mungkin perlu dirancangkan suatu metabahasa yang misalnya bermaksud memperlihatkan bahwa objeknya adalah bahasa, sistem logis atau matematis, dan taat asas. Inilah tanda bahwa pertama, metode suatu ilmu kiranya tidak pernah dapat menghasilkan suatu sistem tertutup mutlak. Kedua tidak dapat dihindari sekurang-kurangnya tidak langsung bahwa suatu sistem bahasa akhirnya ditujukan pada dirinya sendiri,. Ketiga kiranya jelas bahwa bahasa ilmiah tidak dapat memencilkan diri ke dalam strukturnya lepas dari bahasa harian. Bahasa harian ini mempunyai kaidah-kaidah yang terpaut pada konteks.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya dulu sebelum ditutup ya