Model Discovery Learning adalah didefinisikan sebagai proses pembelajaran
yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat
Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be
defined as the learning that takes place when the student is not presented with
subject matter in the final form, but rather is required to organize it him
self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Ide dasar Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam
belajar di kelas.
Model Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan,
melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan
(Budiningsih, 2005:43). Discovery
terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya
untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran,
prediksi, penentuan dan inferi.
Proses tersebut disebut cognitive process
sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilatig
conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah
ini, pada Discovery Learning lebih
menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak
diketahui. Perbedaannya dengan discovery
ialah bahwa pada discovery masalah
yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru,
sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus
mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan
di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Di dalam proses belajar, Bruner
mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan
memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini
dinamakan Discovery Learning Environment,
yaitu lingkungan di mana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan
baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan
dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar
yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai
dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran
bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan
apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif
seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara
lingkungan, yaitu: enactive, iconic,
dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic,
seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak
belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan
menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya,
semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam
fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan
sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan
untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada
gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip
keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih,
85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi
seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented.
Dalam
metode Discovery Learning bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai
kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan,
menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
kesimpulan.Model Discovery Learning adalah didefinisikan sebagai proses pembelajaran
yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat
Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be
defined as the learning that takes place when the student is not presented with
subject matter in the final form, but rather is required to organize it him
self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Ide dasar Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam
belajar di kelas.
Model Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan,
melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan
(Budiningsih, 2005:43). Discovery
terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya
untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran,
prediksi, penentuan dan inferi.
Proses tersebut disebut cognitive process
sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilatig
conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry). Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah
ini, pada Discovery Learning lebih
menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak
diketahui. Perbedaannya dengan discovery
ialah bahwa pada discovery masalah
yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru,
sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus
mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan
di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Di dalam proses belajar, Bruner
mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan
memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini
dinamakan Discovery Learning Environment,
yaitu lingkungan di mana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan
baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan
dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar
yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai
dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran
bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan
apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif
seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara
lingkungan, yaitu: enactive, iconic,
dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic,
seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak
belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan
menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya,
semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam
fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan
sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan
untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada
gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip
keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih,
85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi
seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented.
Dalam
metode Discovery Learning bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai
kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan,
menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
kesimpulan.
Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam Proses Pembelajaran
Menurut Syah (2004:244) dalam
mengaplikasikan Discovery Learning di
kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar
mengajar secara umum sebagai berikut.
Stimulasi/Pemberian Rangsangan (Stimulation)
Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi,
agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat
memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan
aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Pernyataan/Identifikasi Masalah (Problem
Statement)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda
masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan
dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
(Syah 2004:244). Permasalahan yang
dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau
hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan
menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna
dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
Pengumpulan Data (Data Collection)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada
para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini
berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang
relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber,
melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah
siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan
permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa
menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
Pengolahan Data (Data Processing)
Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan
sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan
tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan
pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan
baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian
secara logis.
Pembuktian (Verification)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan
agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang
ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian
dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
Menarik Kesimpulan/Generalisasi (Generalization)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik
sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah,
2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka
dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik
kesimpulan siswa harus memperhatikan
proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip
yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses
pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.