Jumat, 14 Februari 2014

Guru SD Wajib Berijazah PGSD Agar Dapat TPP? (Sebuah “Interpretasi” Permendikbud No. 62 Tahun 2013)

13910786272040580745
Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)

Dari alamat (sekolahdasar.net) yang bertanggal 15 Januari 2014, saya dapati artikel anonim yang berjudul “Guru SD Wajib Berijazah PGSD Agar Dapat TPP”. Artikel itu mengundang banyak komentar pro-kontra dan di-share oleh banyak rekan di group-group terutama “komunitas pendidikan” FB. Dan, sayapun secara “cepat” telah mereaksinya dengan menulis status yang berjudul “Guru Ex SPG, Terancam Sertifikasinya?”. Jempol, komen dan share-pun juga banyak saya dapat. Namun, saya pandang, jawaban saya tersebut perlu saya lengkapi.

Bahwa isi pokok artikel yang bernada “mengagetkan” bagi sebagian guru SD khususnya yang berbasis SPG dan ber-S-1 Kependidikan tapi non-PGSD yang notabene berbiaya sendiri (tidak seperti yang belakangan di-PGSD-kan APBN/APBD), sebenarnya menurut saya merupakan interpretasi subyektif Permendikbud No. 62 Tahun 2013 Tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dalam rangka Penataan dan Pemerataan Guru.
Oleh artikel tersebut, Permendikbud itu diinterpretasi sebagai berikut: pertama, Kemendikbud mewajibkan guru SD memiliki ijazah PGSD untuk mendapatkan TPP. Kedua, bagi guru SD yang belum memiliki ijazah PGSD harus segera kuliah lagi. Dan, ketiga, guru SD yang berijazah tidak sesuai dengan sertifikat profesinya hanya diberi TPP selama dua tahun.
Meskipun, jikalau terjadi konflik interpretasi terhadap suatu produk hukum kewenangan tafsir syahnya ada pada para fihak yang berwenang saja. Namun dalam konteks ilmiah pada dasarnya adalah hak setiap orang untuk mewacanakannya. Tapi tentu saja harus berkaidah sahih.
Bahwa, setiap produk hukum harus dibaca secara kaffah (tuntas), tidak dipotong-potong sesuai selera saja. Sedari konsideran yang notabene mencerminkan tujuan dan latar belakang (asbabunnuzul) serta dasar hukum dari produk hukum itu dilahirkan. Kemudian, ketentuan umumnya, lalu pasal demi pasalnya yang saling terkait dalam satu kesatuan konstruksi, hingga mungkin ada ketentuan peralihan serta ketentuan penutup dan pengundangannya.
Saya, melihat jelas, bahwa penginterpretasian tersebut dilakukan secara parsial sehingga menghasilkan konsklusi yang tidak sahih. Dalam hal ini saya teringat betapa “jahatnya’ pemarsialan tafsir suatu hukum dalam al-Qur’an, bahwa “fawailullilmusollin” (celakalah bagi orang yang sholat). Padahal penuntasan interpretasi yang benar seharusnya adalah “fawailullilmoshollinaladzina ansholatihim sahun” celakalah orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya. Pun, penafsiran parsial itu, karena dipotong-potong juga keliru fatal.
Kontra Tafsir
Dengan tidak mengacu pada pola tafsir artikel itu, pada dasarnya saya mengajak pembaca terutama yang berkepentingan, untuk membaca secara utuh Permendikbud tersebut.
Ada 6 hal yang perlu dicatat. Pertama. Mengapa Permendikbud itu dilahirkan, adalah karena pemerintah daerah telah melakukan pemindahan guru-guru yang memiliki sertifikat pendidik dengan menugaskan menjadi guru pada satuan pendidikan lain yang berdampak kepada terjadinya ketidaksesuaian sertifikat yang dimiliki dengan bidang tugas yang diampu (Konsideran menimbang (a)). Garis bawah: kompasnya (patokannya) adalah sertifikat, sementara yang dituntun adalah bidang tugas. Tidak ijazah.
Kedua. Apa tujuan dari Permen ini? Bahwa, guru wajib mengampu bidang tugasnya sesuai dengan sertifikat yang dimilikinya (Konsideran mengingat (b)). Lagi, kompasnya adalah sertifikat, sementara yang dituntun adalah bidang tugas. Tidak ijazah.
Sebagai bahan awal analisa, perlu kiranya diingatkan kembali, apa yang dimaksud dengan sertifikat, bidang tugas dan Ijazah —sebagaimana menjadi sebagian fokus tafsir artikel itu.
Sertifikat dalam konteks Permendikbud tersebut yang berkonsiderans (mengingat) atau merujuk pada UU No. 14/2005 adalah sertifikat pendidik, yakni bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional .
Sementara itu yang dimaksud dengan bidang tugas adalah sebagai guru bidang studi tertentu atau guru kelas. (Dalam hal ini, lihat Pasal 2 Permendikbud tersebut). Dan, ijazah adalah kualifikasi akademik (Lihat Pasal 1 UU 14/2005).
Ketiga. Siapa sih sebenarnya yang menjadi sasaran Permendikbud ini? Ia-lah Guru Dalam Jabatan (GDJ) (Pasal 1). Siapakah ia? Ia-lah guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang dipindahkan untuk mengajar mata pelajaran lain atau guru kelas yang tidak sesuai dengan sertifikat pendidiknya.
Jadi, ia bersertifikat, ia dipindah untuk mengajar bidang tugas yang tidak sesuai dengan sertifikat pendidiknya. Ya, sertifikat menjadi kompasnya, bidang tugas menjadi ikutannya. Dan, pengertian GDJ ini menjadi pengunci dalam tafsir setiap kostruk hukum dalam Permen ini. Kalau dipaksakan lepas dari pengertian GDJ yang merupakan subyek hukum sasaran, maka ruh dari Permen ini akan pula terlepas dan mati.
Keempat. Bagaimana “menata” guru yang dimaksud oleh Permen ini? Ayat (1) mengatakan bahwa, Guru Dalam Jabatan (GDJ), —demikian bunyinya, dapat dipindahkan antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan, antar kabupaten/kota atau antar provinsi. Pemindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada bidang tugas yang baru didasarkan pada latar belakang sertifikasi atau kualifikasi akademik yang dimilikinya (Pasal 2).
Perhatikan, dasar pemindahan yang utama dan pertama adalah sertifikasi, baru pilihan yang kedua, kualifikasi akademik (ijazah). Kata “atau” dalam hukum berarti memilih salah satu. Beda dengan kata “dan/atau” yang artinya bisa salah satu atau kedua-duanya.
Kelima. Guru yang dipindahkan pada bidang tugas yang sesuai dengan latar belakang kualifikasi akademik tetapi tidak sesuai dengan latar belakang sertifikat pendidiknya wajib mengikuti sertifikasi sesuai dengan bidang tugas baru yang diampunya (Pasal 2: ayat 3). Tidak disuruh kuliah S-1 apalagi S-2 lagi menyesuaikan kualifikasi akademiknya dengan sertifikat, tapi terbalik, cukup mengikuti sertifikasi lagi yang sesuai dengan bidang tugasnya.
Keenam. Guru yang dipindahkan pada bidang tugas yang tidak sesuai dengan sertifikat yang dimiliki tetapi mengampu beban kerja paling sedikit 24 jam tatap muka perminggu berhak mendapat tunjangan profesi untuk selama jangka waktu dua tahun sejak pindah tugas mengajar pada bidang tugas yang baru (yang tidak sesuai dengan sertifikasi) (Pasal 5). Apakah pasal ini bisa diartikan bahwa Guru SD yang berijazah tidak sesuai dengan sertifikat profesinya hanya diberi TPP selama dua tahun? Tidak. Dengan melihat pasal-pasal yang lain, maka pemaknaan seperti itu terputus logikanya.
Fakta di Lapangan
Dan, dari itu semua, bahwa guru ex SPG yang ber-S-1 Kependidikan non-PGSD, memiliki fakta sebagai berikut:
1). berbidang tugas sebagai Guru Kelas SD;
2). berkualifikasi akademik SPG yang notabene berbasis Guru Kelas SD yang “truly-asli” dan ber-S-1 Kependidikan yang terbukti oleh praktek hukum sebagai ijazah yang relevan —yakni diterima sebagai syarat sertifikasi dan unsur utama yang diakui relevan dalam proses kenaikan pangkat;
3). bersertifikat pendidik yang juga berbidang tugas sebagai Guru Kelas SD, serta
4). semenjak Permendikbud No. 62 Tahun 2013 yang diundangkan yang notabene efektif mulai diberlakukan pada tanggal 30 Mei 2013, nyatanya hingga Desember 2014 ini TPP mereka tetap dibayarkan, maka sesungguhnyalah dalam konstelasi Permendikbud tersebut tidak ada masalah bagi mereka.
Jikapun ada yang “menakuti-nakuti” dengan analisa dan tafsir miring dari siapa saja, barangkali itu hanyalah salah persepsi. Atau, setidaknya berbeda persepsi.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya dulu sebelum ditutup ya