Bahasa adalah sistem simbol dan
tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna
yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah
bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat
atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa
Indonesia kata cecak memiliki hubungan kausal dengan referennya atau
binatangnya. Artinya, binatang itu disebut cecak karena suaranya kedengaran
seperti cak-cak-cak. Oleh karena itu kata cecak disebut tanda bukan simbol.
Problema bahasa adalah problema makna.
Bahasa sangat berperan penting
dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus
diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep
dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem 'peta konseptual'
kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi
antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi
merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu',
‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi makna lewat
bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah
yang kita namakan: representasi. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu
ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah
pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada
dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya
adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,
diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.
Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
1.
AKSIOLOGI (NILAI) BAHASA
Istilah Aksiologi berasal dari bahasa
Yunani, terdiri atas kata axia yang artinya nilai dan logia yang artinya ilmu.
Jika diartikan, aksiologi merupakan studi tentang nilai atau filsafat nilai.
Karena di dalamnya membongkar sesuatu tentang nilai. Meski pun filsafat nilai
sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno, istilah aksiologi itu sendiri merupakan
istilah baru yang diperkenalkan oleh Paul Lapie and E. Von Hartmann pada abad
ke-20.
Aksiologi secara mendalam membedakan
antara ada (being [keberadaan]) dengan nilai
(value). Hal ini dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang
mengemban. Kalau dirumuskan Ada = Sesuatu + Nilai.
Oleh karena itu sifat Nilai selalu tergantung pada
pengembannya yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilai
bersifat parasitis.
HAKIKAT NILAI BAHASA
Hakikat adalah unsur
yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu.
Sulit dipahami jika tidak diberi contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu
bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang
kedua yaitu kertas yang terjilid dengan rapi. Nah kertas itu yang merupakan
unsur utama dari sebuah buku.
Jika diaplikasikan terhadap nilai.
Apa itu hakikat nilai? Berarti unsur yang harus ada sebagai syarat adanya
nilai. Dari sini dapat diketahui bahwa ada unsur yang membuat nilai itu ada.
Contoh, gitar itu jelek! Apakah kita tau nilai dari gitar itu? Sudah pasti,
karena sudah disebutkan, yaitu jelek. Di situlah letak nilai.
Nilai di sini memiliki arti netral, nilai tidak memihak, tapi
mengidentifikasikan ini loh nilainya. Gitar itu bagus, jelek, atau
sedang-sedang saja tetap memiliki nilai. Oleh karena itu diadakan pembedaan,
antara letak kedudukan nilai dan pengemban nilai.
Gitar jelek. Di mana nilainya? Jelas
“jelek” nilainya. Di mana pengembannya? Jelas “gitar” pengembannya. Dari sini
dapat diketahui bahwa nilai selalu bersifat abstrak: jelek, indah, samar,
penyayang, tidak dapat disentuh, hanya dapat diketahui di sinilah letak
kedudukan nilai. Sedangkan pengemban nilai tidak
selalu bersifat material tetapi juga immaterial dan selalu sifatnya objektif.
Contohnya yang material: gitar, batu, cicak, motor, sampah;
dan yang immaterial: Tuhan, panorama, malaikat, langit, angin.
2.
EPISTIMOLOGI BAHASA
Epistemologi, (dari bahasa Yunani
episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah
cabang filsafat
yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan.
Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas
dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis.
ASAL MULA BAHASA
Apabila kita menelusuri jejak
kehidupan nenek moyang manusia di muka bumi sejak lima ratus ribu tahun yang
silam, kita tidak pernah menemukan bukti-bukti langsung mengenai bahasa nenek
moyang kita tersebut.
Cerita dari Mesir, bahwa sekitar
abad ke-17 SM Raja Mesir Psammetichus mengadakan eksperimen terhadap bayi yang
dibesarkan di hutan belantara dengan pola pengasuhan yang tanpa bersentuhan
dengan pemakaian bahasa apapun. Setelah berusia dua tahun, bayi tersebut
dilaporkan oleh pengasuh suruhan istana dapat mengucapkan kata pertamanya
“becos” yang berarti “roti”, dalam bahasa Phrygia (bahasa Mesir kuno). Dan
cerita ini, banyak orang Mesir yang mempercayai bahwa bahasa Mesirlah yang
merupakan bahasa yang pertama dikuasai manusia, sekaligus diklaim sebagai bahasa
yang pertama kali ada di muka bumi.
Dalam versi yang lain lagi, Goropus
Becanus, seorang bangsa Belanda, mengemukakan pendapat bahwa bahasa yang
dipergunakan oleh Adam adalah bahasa Belanda. Seorang filsuf Jerman, Leibniz
mengemukakan pandangan bahwa semua bahas di dunia berasal dari bahasa Proto.
Namun, baik pendapat Kemke, Goropus, maupun pendapat Leibniz tidak didukung
oleh bukti bukti yang sahih, sehingga pendapat mereka dianggap sebagai hasil
rekayasa imajinasi belaka.
Dengan kata lain, dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya manusia yang pertama kali dalam
menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa mitos karena tidak berdasar pada
fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Terdapat beberapa teori yang ada,
bahwa bahasa bersumber dari Tuhan, bunyi alam, isyarat lisan, dan teori yang
mendasarkan pada kemampuan manusia secara fisiologis.
Menurut pandangan yang menyebutkan
bahwa bahasa bersumber dari Tuhan. Dalam kitab suci agama Islam misalnyaf
disebutkan bahwa Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dengan
berbagai kemampuan yang dibekalkan kepadanya, termasuk kemampuan berbahasa
(Q.S. Al Baqarah: 31 dan Q.S. Ar-Rum: 22).
Akan tetapi, lain lagi jika menurut
kisah ‘Kejadian’ (Injil, Kejadian 2:19) bahwa manusia diciptakan dalam
imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa merupakan salah satu dari sifat manusia.
Dalam kebanyakan agama diyakini
bahwa Tuhan melengkapi penciptaan manusia dengan bahasa. Namun, berbagai kisah
dalam agama-agama itu belum membantu untuk mengetahui dan mengungkap apa
sesungguhnya bahasa, serta bagaimana manusia memulai penggunaan bahasa. Dalam
pandangan beberapa aliran agama, sebut saja aliran kepercayaan yang dianut
masyarakat Baduy di daerah Banten Selatan (Provinsi Banten), diyakini bahwa
nenek moyang mereka adalah cikal bakal manusia di dunia dan bahasa yang
digunakan oleh nenek moyang mereka itu adalah bahasa Sunda seperti yang mereka
gunakan saat sekarang.
Pandangan lain tentang asal mula
bahasa ini didasarkan pada konsep bunyi-bunyi alam. Salah seorang filsuf Yunani
yang bemama Socrates, menyatakan bahwa onomatopea atau peniruam bunyi-bunyi
alam merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama “yang
benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi. Menurut
pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan tiruan bunyi
alam yang didengar manusia dan lingkungannya.
Sejalah dengan pandangan Socrates,
Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman mengemukakan Dingdong Theory atau
Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa timbul secara alamiah karena
manusia mempunyai insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi
setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru bunyi-bunyi alam.
Teori lain yang disebut Teori Bow-bow
atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia merupakan tiruan bahasa
alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi hujan, bunyi gesekan
daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.
Teori-teori yang dikemakakan Socrates,
Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat banyak kritik, karena
teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’ dapat dihubungkan
dengan bunyi-bunyi alam.
Suara yang sama seringkali
ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, misalnya dalam
menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”, orang
Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”,
orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle
do”.
Teori yang lain adalah Teori
Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang berpandangan
bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya rasa
sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha... ha...”
timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit,
bunyi “wow...” muncul karena rasa kaget.
Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan
hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan isyarat-isyarat yang dilakukan
anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat fisik dapat
menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.
Selain teoni-teori sebagaimana
dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula bahasa dengan fokus
pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
3.
ONTOLOGI BAHASA
Menurut bahasa, ontologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = Ilmu. Jadi
ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu
yang membahas tentang hakekat yang ada, yang merupakan ultimate reality
baik yang berbentuk jasmani (kongkret) maupun rohani (abstrak).
Menurut Bramel, aksiologi terbagi
tiga bagian, yaitu:
- Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
- Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
- Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik
Aksiologi
adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai –
nilai khususnya etika.Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk
keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
CONTOH AKSIOLOGI (ETIKA) BAHASA DALAM HAL BERBOHONG
Secara umum diyakini bahwa bohong
artinya mengatakan sesuatu yang tidak ada dasar realitasnya. Misalnya saja
mengatakan ada badai di laut padahal tidak ada, mengatakan turut berduka
padahal tidak berduka, mengatakan memiliki pacar padahal tidak punya, atau
menyatakan orang miskin di Indonesia hanya 15% padahal 50%. Kebohongan juga
bisa diartikan sebaliknya, yakni mengatakan sesuatu yang tidak ada padahal ada
dalam realitasnya. Misalnya saja mengatakan tidak memiliki uang padahal punya,
mengatakan tidak cemburu padahal cemburu, mengatakan tidak apa-apa padahal
apa-apa. Cukup biasa terjadi mengatakan baik-baik saja padahal merintih perih
karena tangan tergores pisau. Biasa juga seorang cowok yang membonceng pacarnya
naik sepeda onthel mengatakan tidak capek meskipun nafas sudah hampir
putus dibuatnya.
Kebohongan yang mungkin terjadi
bisa sebanyak fenomena yang mungkin terjadi di dunia. Setiap fenomena bisa
dibuat versi bohongnya. Oleh sebab itu, berbohong luar biasa gampang karena tinggal
men’tidak’kan apa yang ada saja. Misalnya, ada petir dibilang tidak ada, merasa
rindu tapi bilang tidak rindu, bilang tidak punya uang ternyata punya.
Pendeknya, merupakan bohong bila bilang tidak pada yang ada, dan
bilang ada pada yang tidak ada.
Contoh diatas
merupakan etika yang tidak baik sehingga tujuan penyampaian tidak akan
tercapai.
REPRESENTASI
MAKNA
Bahasa adalah sistem simbol dan
tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna
yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah
bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat
atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa
Indonesia kata cecak memiliki hubungan kausal dengan referennya atau
binatangnya. Artinya, binatang itu disebut cecak karena suaranya kedengaran
seperti cak-cak-cak. Oleh karena itu kata cecak disebut tanda bukan simbol.
Problema bahasa adalah problema makna.
Bahasa sangat berperan penting
dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus
diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep
dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem 'peta konseptual'
kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi
antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang berfungsi
merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara 'sesuatu',
‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi makna lewat
bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah
yang kita namakan: representasi. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu
ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah
pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada
dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya
adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,
diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.
Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.
1.
AKSIOLOGI (NILAI) BAHASA
Istilah Aksiologi berasal dari bahasa
Yunani, terdiri atas kata axia yang artinya nilai dan logia yang artinya ilmu.
Jika diartikan, aksiologi merupakan studi tentang nilai atau filsafat nilai.
Karena di dalamnya membongkar sesuatu tentang nilai. Meski pun filsafat nilai
sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno, istilah aksiologi itu sendiri merupakan
istilah baru yang diperkenalkan oleh Paul Lapie and E. Von Hartmann pada abad
ke-20.
Aksiologi secara mendalam membedakan
antara ada (being [keberadaan]) dengan nilai
(value). Hal ini dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang
mengemban. Kalau dirumuskan Ada = Sesuatu + Nilai.
Oleh karena itu sifat Nilai selalu tergantung pada
pengembannya yaitu Sesuatu. Hal ini berarti nilai
bersifat parasitis.
HAKIKAT NILAI BAHASA
Hakikat adalah unsur
yang harus/wajib ada untuk adanya Sesuatu.
Sulit dipahami jika tidak diberi contoh. Misalnya, apa yang membuat kita tahu
bahwa benda itu adalah buku tulis? Yang paling utama adalah adanya kertas, yang
kedua yaitu kertas yang terjilid dengan rapi. Nah kertas itu yang merupakan
unsur utama dari sebuah buku.
Jika diaplikasikan terhadap nilai.
Apa itu hakikat nilai? Berarti unsur yang harus ada sebagai syarat adanya
nilai. Dari sini dapat diketahui bahwa ada unsur yang membuat nilai itu ada.
Contoh, gitar itu jelek! Apakah kita tau nilai dari gitar itu? Sudah pasti,
karena sudah disebutkan, yaitu jelek. Di situlah letak nilai.
Nilai di sini memiliki arti netral, nilai tidak memihak, tapi
mengidentifikasikan ini loh nilainya. Gitar itu bagus, jelek, atau
sedang-sedang saja tetap memiliki nilai. Oleh karena itu diadakan pembedaan,
antara letak kedudukan nilai dan pengemban nilai.
Gitar jelek. Di mana nilainya? Jelas
“jelek” nilainya. Di mana pengembannya? Jelas “gitar” pengembannya. Dari sini
dapat diketahui bahwa nilai selalu bersifat abstrak: jelek, indah, samar,
penyayang, tidak dapat disentuh, hanya dapat diketahui di sinilah letak
kedudukan nilai. Sedangkan pengemban nilai tidak
selalu bersifat material tetapi juga immaterial dan selalu sifatnya objektif.
Contohnya yang material: gitar, batu, cicak, motor, sampah;
dan yang immaterial: Tuhan, panorama, malaikat, langit, angin.
2.
EPISTIMOLOGI BAHASA
Epistemologi, (dari bahasa Yunani
episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah
cabang filsafat
yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan.
Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas
dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis.
ASAL MULA BAHASA
Apabila kita menelusuri jejak
kehidupan nenek moyang manusia di muka bumi sejak lima ratus ribu tahun yang
silam, kita tidak pernah menemukan bukti-bukti langsung mengenai bahasa nenek
moyang kita tersebut.
Cerita dari Mesir, bahwa sekitar
abad ke-17 SM Raja Mesir Psammetichus mengadakan eksperimen terhadap bayi yang
dibesarkan di hutan belantara dengan pola pengasuhan yang tanpa bersentuhan
dengan pemakaian bahasa apapun. Setelah berusia dua tahun, bayi tersebut
dilaporkan oleh pengasuh suruhan istana dapat mengucapkan kata pertamanya
“becos” yang berarti “roti”, dalam bahasa Phrygia (bahasa Mesir kuno). Dan
cerita ini, banyak orang Mesir yang mempercayai bahwa bahasa Mesirlah yang
merupakan bahasa yang pertama dikuasai manusia, sekaligus diklaim sebagai bahasa
yang pertama kali ada di muka bumi.
Dalam versi yang lain lagi, Goropus
Becanus, seorang bangsa Belanda, mengemukakan pendapat bahwa bahasa yang
dipergunakan oleh Adam adalah bahasa Belanda. Seorang filsuf Jerman, Leibniz
mengemukakan pandangan bahwa semua bahas di dunia berasal dari bahasa Proto.
Namun, baik pendapat Kemke, Goropus, maupun pendapat Leibniz tidak didukung
oleh bukti bukti yang sahih, sehingga pendapat mereka dianggap sebagai hasil
rekayasa imajinasi belaka.
Dengan kata lain, dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya manusia yang pertama kali dalam
menelusuni asal mula bahasa lebih bernuansa mitos karena tidak berdasar pada
fakta dan teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Terdapat beberapa teori yang ada,
bahwa bahasa bersumber dari Tuhan, bunyi alam, isyarat lisan, dan teori yang
mendasarkan pada kemampuan manusia secara fisiologis.
Menurut pandangan yang menyebutkan
bahwa bahasa bersumber dari Tuhan. Dalam kitab suci agama Islam misalnyaf
disebutkan bahwa Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah dengan
berbagai kemampuan yang dibekalkan kepadanya, termasuk kemampuan berbahasa
(Q.S. Al Baqarah: 31 dan Q.S. Ar-Rum: 22).
Akan tetapi, lain lagi jika menurut
kisah ‘Kejadian’ (Injil, Kejadian 2:19) bahwa manusia diciptakan dalam
imajinasi Tuhan dan kemampuan bahasa merupakan salah satu dari sifat manusia.
Dalam kebanyakan agama diyakini
bahwa Tuhan melengkapi penciptaan manusia dengan bahasa. Namun, berbagai kisah
dalam agama-agama itu belum membantu untuk mengetahui dan mengungkap apa
sesungguhnya bahasa, serta bagaimana manusia memulai penggunaan bahasa. Dalam
pandangan beberapa aliran agama, sebut saja aliran kepercayaan yang dianut
masyarakat Baduy di daerah Banten Selatan (Provinsi Banten), diyakini bahwa
nenek moyang mereka adalah cikal bakal manusia di dunia dan bahasa yang
digunakan oleh nenek moyang mereka itu adalah bahasa Sunda seperti yang mereka
gunakan saat sekarang.
Pandangan lain tentang asal mula
bahasa ini didasarkan pada konsep bunyi-bunyi alam. Salah seorang filsuf Yunani
yang bemama Socrates, menyatakan bahwa onomatopea atau peniruam bunyi-bunyi
alam merupakan dasar asal mula bahasa dan merupakan alasan mengapa nama “yang
benar” dapat ditemukan untuk benda-benda yang dapat menghasilkan bunyi. Menurut
pandangan ini, kata-kata yang paling sederhana dapat merupakan tiruan bunyi
alam yang didengar manusia dan lingkungannya.
Sejalah dengan pandangan Socrates,
Max Mueller (1825-1900) seorang bangsa Jerman mengemukakan Dingdong Theory atau
Nativistic Theory yang meyakini bahwa bahasa timbul secara alamiah karena
manusia mempunyai insting yang istimewa untuk mengeluarkan ekspresi ujaran bagi
setiap pesan yang datang dari luar termasuk dalam meniru bunyi-bunyi alam.
Teori lain yang disebut Teori Bow-bow
atau Echoic Theory menjelaskan bahwa bahasa manusia merupakan tiruan bahasa
alam, misalnya suara halilintar, kicauan burung, bunyi hujan, bunyi gesekan
daun, dan bunyi-bunyi lainnya akan merupakan sumber bahasa.
Teori-teori yang dikemakakan Socrates,
Max Mueller, dan Teori Bow-bow ternyata mendapat banyak kritik, karena
teori-teori tersebut tidak dapat membuktikan semua ‘kata’ dapat dihubungkan
dengan bunyi-bunyi alam.
Suara yang sama seringkali
ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang-orang yang berlainan, misalnya dalam
menirukan suara kokok ayam jantan, orang Jawa menyebutnya “kukuruyuk”, orang
Sunda menyebut kongkorongok’, orang Prancis dan Spanyol menyebut “cocorico”,
orang Cina menyebut “wang-wang”, sedangkan orang Inggris menyebut “cock a doodle
do”.
Teori yang lain adalah Teori
Interjeksi (Interjection Theory) atau Teori Pooh-pooh yang berpandangan
bahwa bahasa manusia berasal dari dorongan dan ungkapan emosi, misalnya rasa
sakit, takut, senang, marah, atau sedih. Menurut teori ini, bunyi “ha... ha...”
timbul karena dorongan rasa gembira, bunyi “uuh. .“ timbul karena rasa sakit,
bunyi “wow...” muncul karena rasa kaget.
Pada abad ke-19, Darwin menyodorkan
hipotesis bahwa bahasa lahir karena menirukan isyarat-isyarat yang dilakukan
anggota tubuh yang lain. Menurut teori ini pula bahwa isyarat fisik dapat
menjadi cara untuk menunjukkan serangkaian makna.
Selain teoni-teori sebagaimana
dijelaskan di atas, masih ada teori lain mengenai asal mula bahasa dengan fokus
pada aspek-aspek fisik manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
3.
ONTOLOGI BAHASA
Menurut bahasa, ontologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = Ilmu. Jadi
ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu
yang membahas tentang hakekat yang ada, yang merupakan ultimate reality
baik yang berbentuk jasmani (kongkret) maupun rohani (abstrak).
Menurut Bramel, aksiologi terbagi
tiga bagian, yaitu:
- Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
- Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
- Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik
Aksiologi
adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai –
nilai khususnya etika.Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab agar produk
keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
CONTOH AKSIOLOGI (ETIKA) BAHASA DALAM HAL BERBOHONG
Secara umum diyakini bahwa bohong
artinya mengatakan sesuatu yang tidak ada dasar realitasnya. Misalnya saja
mengatakan ada badai di laut padahal tidak ada, mengatakan turut berduka
padahal tidak berduka, mengatakan memiliki pacar padahal tidak punya, atau
menyatakan orang miskin di Indonesia hanya 15% padahal 50%. Kebohongan juga
bisa diartikan sebaliknya, yakni mengatakan sesuatu yang tidak ada padahal ada
dalam realitasnya. Misalnya saja mengatakan tidak memiliki uang padahal punya,
mengatakan tidak cemburu padahal cemburu, mengatakan tidak apa-apa padahal
apa-apa. Cukup biasa terjadi mengatakan baik-baik saja padahal merintih perih
karena tangan tergores pisau. Biasa juga seorang cowok yang membonceng pacarnya
naik sepeda onthel mengatakan tidak capek meskipun nafas sudah hampir
putus dibuatnya.
Kebohongan yang mungkin terjadi
bisa sebanyak fenomena yang mungkin terjadi di dunia. Setiap fenomena bisa
dibuat versi bohongnya. Oleh sebab itu, berbohong luar biasa gampang karena tinggal
men’tidak’kan apa yang ada saja. Misalnya, ada petir dibilang tidak ada, merasa
rindu tapi bilang tidak rindu, bilang tidak punya uang ternyata punya.
Pendeknya, merupakan bohong bila bilang tidak pada yang ada, dan
bilang ada pada yang tidak ada.
Contoh diatas
merupakan etika yang tidak baik sehingga tujuan penyampaian tidak akan
tercapai.