Dunia pendidikan
kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah enam
kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968,
1975, 1984, 1994, dan KBK. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban
bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa
yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat
dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita
melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi
juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?
Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknya
membuat kita sedikit gerah. Jutaan generasi datang silih-berganti memasuki
tembok sekolah. Namun, kenyataan yang kita rasakan, nilai kesalehan, baik
individu maupun sosial, nyaris tak terhayati dan teraplikasikan dalam panggung
kehidupan nyata. Yang kita saksikan, justru kian meruyaknya kasus korupsi,
kolusi, manipulasi, kejahatan krah putih, atau perilaku anomali sosial lain
yang dilakukan oleh orang-orang yang notabene sangat kenyang “makan sekolahan”.
Yang lebih memprihatinkan, negeri kita dinilai hanya mampu menjadi bangsa
“penjual” tenaga kerja murah di negeri orang. Kenyataan empiris semacam itu,
disadari atau tidak, sering dijadikan sebagai indikator bahwa dunia pendidikan
kita telah “gagal” melahirkan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi untuk
bersaing di pasar kerja, meskipun berkali-kali terjadi perubahan kurikulum.
Di tengah-tengah keprihatinan semacam itu,
secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006
tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaannya
pada awal tahun ajaran 2006/2007 lalu. Melalui ketiga Permendiknas tersebut,
sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas
tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran
2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.
Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu
mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia
sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas?
Mitos Globalisasi
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia
mustahil mampu menghindar dari dampak dan imbas globalisasi. Globalisasi telah
mendorong terciptanya rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi
semata dipetakan oleh kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas
teritorial. A. Giddens (1990) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi
hubungan sosial global yang menghubungkan komunitas lokal sedemikian rupa
sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang jauh bisa dipengaruhi oleh
peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula, dan sebaliknya. Dalam
konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian
proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organization dari
hubungan sosial dan transaksi –ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas,
kecepatan dan dampaknya– yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional
serta jejaringan aktivitas.
Dunia pendidikan pun tak luput dari imbas dan
pengaruh yang dihembuskan oleh globalisasi. Paling tidak, ada tiga perubahan
mendasar yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pertama, dunia
pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya
hembusan paham neo-liberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia
komersial adalah usaha mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha
secara kontinyu. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang
dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasar yang baru. Tidak heran
apabila sekolah masih membenani orang tua murid dengan sejumlah anggaran
berlabel uang komite atau uang sumbangan pengembangan institusi meskipun
pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol
pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi
global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan
pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD
1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma
pendidikan dari corak sentralistis menjadi desentralistis.
Ketiga, globalisasi akan mendorong delokalisasi
dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru,
seperti komputer dan internet, telah membawa perubahan yang sangat revolusioner
dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfataan multimedia yang portable
dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di
dunia persekolahan kita.
Meskipun demikian, diperlukan kearifan dalam
memahami pengaruh dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan kita. Mitos
yang berkembang selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi
akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan
jati diri. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar
atau kekuatan budaya global.
Dalam pandangan Mursal Esten, anggapan atau
jalan pikiran semacam itu tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi
memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna.
Kemajuan Iptek telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan
negara. Dalam buku Global Paradox, Naisbitt pun memperlihatkan hal yang justru
bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya,
Naisbitt mengatakan bahwa semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia,
perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan semakin mendominasi. “Semakin kita
menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal,
bersifat global,” ujar Naisbitt. Ini artinya, proses globalisasi tetap
menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis sebagai masalah yang penting
yang harus dipertimbangkan.
Dalam konteks demikian, perlu ada penekanan dan
perhatian yang lebih serius dari tim pengembang KTSP di sekolah untuk
“membumikan” unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ke dalam kurikulum.
Bahasa dan Sastra Daerah Makassar, misalnya, harus menjadi muatan lokal yang
“wajib” dikembangkan di sekolah, termasuk di Sekolah Dasar. Bahkan, perlu
dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan pengembangan diri secara terprogram
dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler dengan merangkul para pemerhati, pakar,
atau penggiat Bahasa dan Sastra Daerah. Dengan cara demikian, sekolah
benar-benar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai “agen peradaban” yang
menggambarkan masyarakat mini –lengkap dengan segala atribut, identitas, dan
jati dirinya secara utuh– di tengah-tengah perkampungan global yang gencar
menawarkan perubahan gaya hidup dan kultur modern lainnya. Dengan kata lain,
sekolah harus menjadi “benteng” terakhir pengembangan unsur-unsur kearifan dan
kebudayaan lokal ketika atmosfer sosial-budaya yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat demikian liar dan pasif dalam mengadopsi kultur global dengan
berbagai ikon modernitasnya.
Implementasi KTSP dalam dunia persekolahan kita
juga perlu diikuti dengan perubahan sistem pembelajaran yang benar-benar
memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk mengembangkan potensi dirinya
agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, diakui atau tidak, perubahan kurikulum
selama ini hanya sebatas papan nama. Secara lahiriah menggunakan label
kurikulum baru, tetapi sejatinya masih menggunakan “roh” kurikulum yang lama.
Dalam pandangan Prof. Aleks Maryunis, guru besar
Universitas Negeri Padang (2006), selama ini pemerintah sibuk mengurusi dan
membenahi dokumen tertulisnya saja. Menurutnya, perubahan kurikulum di negara
kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau
memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia
sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen
tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap
mengalami perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran
dan silabus saja yang sudah dilaksanakan. Persoalan proses dan hasilnya, tak
pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.