Filsafat timbul karena adanya keheranan. Manusia adalah
salah satu makhluk dapat mengalami keheranan. Siapa yang heran tentu ada yang
diherankan. Ada subjek yang heran dan ada objek yang diherankan. Keduanya
saling berhadapan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Manusia
mungkin heran tentang keadaan yang ada disekitarnya. Ia dapat meluaskan
keherannnya meliputi semua kenyataan, bahkan dapat memasukkan dirinya sendiri
ke dalam keheranan itu. Manusia dapat berdialog dengan dirinya sendiri,
menjadikan dirinya sebagai objek keheranan, pertanyaan, atau pemikiran.
Keheranan
manusia itu dinyatakan dengan pertanyaan. Manusia mahluk adalah penanya. Karena
takjub, kagum, bercampur heran manusia bertanya dan bertanya terus. Setiap
jawaban selalu mengandung dan mengundang pertanyaan baru. Jean Paul Sartre,
seorang filosof alairan aliran eksistensialisme perancis mengatakan, kesadaran
manusia bersifat bertanya yang sebenar-benarnya. Sementara itu R.F. Beerling,
seorang filosof Belanda mengatakan manusia baru dikatakan manusia, kalau ia
bangun melihat sekelilingnya dan bertanya kepada dirinya sendiri, “Apa gerangan
yang terjadi?”.
Filsafat
bertitik pangkal pada pertanyaan yang merupakan tali pengikat antara manusia
dengan peristiwa. Berfilsafat berarti bertanya disertai rasa heran. Sutan
Takdir Alisyahbana menyimpulkan bahwa pekerjaan berfilsafat itu adalah
berpikir. Hanya manusia yang telah tiba pada tingkat berpikir, yang
berfilsafat. Naumun tidak semua yang berpikir itu disebut sebagai berfilsafat,
karena ada syaratnya. Syarat utamanya ialah keinsyafan. Berfilsafat ialah
berpikir dengan insyaf, yaitu berpikir dengan teliti, menurut suatu aturan yang
tertentu. Orang yang berfilsafat itu dengan teliti dan beraturan memikirkan
segala ke dalam pikirannya dari seluruh alam, baik yang di luar maupun yang ada
dalam dirinya. Menurut Imam Bernadib, manusia mulai berfilsafat jika berpikir
dengan teliti dan teratur memecahkan masalah-masalah dan memandang permasalahan
itu dari sudut yang hakiki. Selanjutnya D.C. Mulder, sekalipun berfilsafat itu
adalah berpikir, namun tidak berarti bahwa berpikir sama dengan berfilsafat.
Banyak orang berpikir tetapi tidak berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir
dengan cara tertentu, yaitu berpikir secara ilmiah.
Berkaitan
dengan penalaran Moeliono (1989:124) memberikan batasan bahwa penalaran
merupakan proses mengambil simpulan dari bahan bukti atau petunjuk ataupun yang
dianggap bahan bukti atau petunjuk. Pendapat yang agak senada dikemukakan oleh
Suriasumantri (1993:42) yakni penalaran adalah suatu proses berpikir dalam
menarik suatu simpulan yang berupa pengetahuan. Dengan kata lain,
penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan
bukan dengan perasaan.
Keraf (1992:5) memandang
penalaran sebagai salah satu proses berpikir yang mengikuti cara-cara atau
langkah-langkah tertentu untuk mencapai suatu simpulan yang diandalkan. Masalah
penalaran adalah masalah bagaimana merumuskan pendapat yang benar sebagai hasil
dari proses berpikir bagaimana menerangkan kata-kata, kalimat atau
simpulan-simpulan individual menjadi simpulan umum. Demikian pula halnya dengan
pendapat Suhendar (1992:44) yang menyatakan bahwa penalaran adalah kegiatan
berpikir yang lebih tinggi , yang dilakukan secara sadar, tersusun dalam urutan
yang saling berhubungan serta bertujuan untuk memperoleh simpulan. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Poespoprojo (1985:8) menegaskan bahwa penalaran
adalah suatu penjelasan yang menunjukkan
kaitan antara dua hal atau lebih yang berdasarkan pada alasan-alasan atau
langkah-langkah tertentu sehingga sampai pada suatu kesimpulan.
Berdasarkan pandangan para pakar di
atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan berpikir
bertolak pada suatu analisis dan kerangka pikir yang menggunakan logika
penalaran. Sifat analitik penalaran merupakan konsekuensi dari adanya suatu
pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada
kegiatan analisis. Dengan demikian, analisis pada hakikatnya merupakan suatu
kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.Seperti telah dipaparkan bahwa pengetahuan yang dihasilkan dari proses
penalaran merupakan pengetahuan yang
benar. Sehubungan dengan masalah kebenaran ini, Suriasumantri
mengemukakan ada tiga kriteria kebenaran yang masing-masing berdasar pada teori
koherensi, teori korespondensi, dan teori kebenaran pragmatis. Menurut teori
koherensi, pernyataan atau kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar. Bagi
penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi atau berhubungan
dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kebenaran dimaksudkan
sebagai suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu.
Sebagai suatu proses penarikan kesimpulan secara umum, penalaran dibedakan dari (1) penalaran induktif, dan (2) penalaran deduktif. Induksi ditafsirkan sebagai penalaran yang bertolak pada yang khusus atau spesifik menuju pada kesimpulan yang umum. Sebaliknya, deduksi adalah penalaran dari yang umum ke yang khusus untuk mencapai suatu kesimpulan.
Penalaran induktif termasuk di dalamnya adalah bentuk penalaran (a) generalisasi, (b) analog, dan (c) hubungan kausal. Berbagai jenis penalaran yang dikemukakan ini dijelaskan sebagai berikut :
Generalisasi induktif ialah proses penalaran yang bertolak pada sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tersebut. Menurut Moeliono, banyak perampatan induktif berdasarkan fakta, tetapi banyak juga yang berdasarkan asumsi atau pengandaian. Pengandaian itu adalah fakta atau pernyataan yang dianggap benar walaupun belum atau tidak dapat dibuktikan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Barker (1989: 83) menjelaskan bahwa generalisasi induktif adalah penalaran induktif yang menyuguhkan sejumlah fakta yang diamati dari sekelompok anggota kelas untuk menarik kesimpulan secara keseluruhan.
Analog atau sering disebut analog induktif ialah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu dengan yang lain, selanjutnya menarik kesimpulan bahwa yang berlaku untuk satu hal akan berlaku pula dengan hal yang lain. Arifin dan Tasai (1988:25) menjelaskan bahwa analogi merupakan cara penarikan kesimpulan dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama. Sementara itu, analogi induktif merupakan penalaran induktif yang menyajikan suatu kesimpulan mengenai kasus tunggal berdasarkan kemiripan antara kasus tersebut dengan kasus-kasus lain yang diamati sebelumnya.
Hubungan kausal adalah penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan. Dicontohkan, ketika tombol ditekan bel berbunyi. Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan kausal ini sering dijumpai. Misalnya, hujan turun dan jalan-jalan becek. Orang yang terkena penyakit kanker darah dan meninggal dunia. Jenis hubungan kausal yang lain adalah proses penalaran yang bertolak dari suatu akibat yang lain, tanpa menyebut atau mencari sebab umum yang menimbulkan kedua akibat itu. Mengacu pada hubungan kausal ini, maka semua peristiwa mempunyai sebab yang dapat diketahui jika manusia berupaya menyelidikinya dan tentu bila manusia itu memiliki pengetahuan yang memadai untuk melakukan penyelidikan itu.
Rumusan prinsip metode perbedaan adalah apabila sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, semua faktornya sama kecuali satu, maka faktor satu-satunya yang menyebabkan kedua peristiwa itu berbeda adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebab gejala tersebut. Penarikan kesimpulan yang menggunakan metode persamaan dan metode perbedaan secara bersama-sama dapat dikatakan menggunakan metode gabungan. Penggunaan metode gabungan dipandang dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih kuat sebab dengan menggunakan masing-masing metode secara terpisah pun sudah dapat ditarik suatu kesimpulan.
Penalaran
deduktif menggunakan peralatan silogisme, yaitu suatu bentuk penalaran formal
dengan menghubungkan dua proposisi yang berlainan untuk menarik kesimpulan.
Silogisme terdiri atas tiga kalimat atau proposisi. Dua kalimat pertama disebut
premis, sedangkan kalimat ketiga disebut kesimpulan. Kedua proposisi itu dalam
silogisme sering disebut sebagai premis, yaitu premis mayor dan premis minor.
Premis mayor adalah perampatan yang meliputi semua kategori, sedangkan premis
minor adalah penyamaan suatu objek atau ide dengan unsur yang dicakup oleh
premis mayor.
Menurut
prinsip pertama, dua hal pokok sama, jika keduanya sama dengan hal ketiga.
Menurut prinsip kedua, dua hal adalah berbeda dengan jika yang satu sama dengan
hal yang ketiga, sedangkan yang lain tidak sama dengan hal ketiga tersebut.
Berdasarkan prinsip ketiga, apa yang berlaku secara deskriptif untuk suatu
kelas yaitu berlaku untuk semua dan masing-masing anggotanya. Akhirnya, menurut
prinsip keempat, apa yang diingkari tentang sesuatu kelas secara distributif,
juga diingkari pada tiap-tiap anggotanya.
Menurut
pendapat Baum (1981: 104), silogisme kategorial (categorical syllogism)
disusun secara tepat berdasrkan tiga pernyataan kategorial atau istilah yang
berbeda. Lebih lanjut dikemukakan bahwa bentuk baku silogisme tersebut terdiri
atas dua bentuk premis dan satu bentuk kesimpulan. Premis pertama disebut
premis major dan kedua disebut premis
minor. Dicontohkan sebagai berikut:
Semua
lulusan perguruan tinggi adalah orang yang berpendidikan.
Semua
pegawai di perusahaan ini adalah lulusan perguruan tinggi.
Jadi,
semua pegawai di perusahaan ini adalah orang yang berpendidikan.
Silogisme hipotesis atau silogisme pengandaian ialah
semacam penalaran deduktif yang mengandung hipotesis. Silogisme ini bertolak
dari satu pendirian bahwa ada
kemungkinan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak
terjadi.
Banyak
penalaran yang tidak semua unsur proposisinya dinyatakan secara eksplisit atau
salah satunya dihilangkan. Meskipun dihilangkan, proposisi itu tetap dianggap
ada dalam pikiran dan dianggap diketahui pula oleh orang lain. Bentuk semacam
itu disebut entimen. Selaras dengan
pernyataan ini, Carney (1980: 8)
berpendapat bahwa entimen adalah beberapa argumen yang tidak dinyatakan
secara penuh. Jadi, entimen akan berarti jika proposisi yang tidak dinyatakan
secara eksplisit tersebut sudah jelas. Kejelasan ini dapat terjadi karena
memang sudah jelas dengan sendirinya atau karena merupakan pengetahuan umum
atau karena terdapat dalam konteks komunikasi. Sebagai contoh.
Semua
anggota dewan korupsi karena semua manusia korupsi.
Semua
manusia korupsi.
Semua
anggota dewan adalah manusia
Jadi,
semua anggota dewan korupsi