Dalam ilmu pengetahuan, eksistensi filsafat
mempunyai kedudukan sentral, asal atau pokok, karena filsafatlah yang mula-mula
merupakan satu-satunya usaha manusia di bidang kerohanian untuk mencapai
kebenaran atau pengetahuan. Lambat laun sesuai dengan sifatnya, manusia tidak
pernah merasa puas dengan meninjau suatu hal dari sudut yang umum, melainkan
juga memperlihatkan hal-hal yang khusus. Akhirnya kemudian timbullah
penyelidikan mengenai hal-hal yang khusus yang sebelumnya masuk lingkungan
filsafat. Jika penyelidikan ini telah mencapai tingkat yang tinggi, maka cabang
penyelidikan itu melepaskan diri dari filsafat sebagai cabang ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri.
Walaupun
teori dan filsafat itu adalah upaya intelektual, namun pada dasarnya lebih
merupakan upaya yang mengandung perasaan dan imajinasi. Sebelum filosof
menganalisis peristiwa secara filosofis, Plato
menggambarkannya sebagai peningkatan dari bayangan gelap gua ke dunia
cemerlang yang disinari matahari. Filsosofis tertarik pada prinsip-prinsip umum
dari setiap gejala, objek, proses, atau bidang studi. Prinsip-prinsip itu
bersifat umum, jika memahami sejumlah besar gejala.
Aristoteles
mengatakan bahwa semua benda yang kita saksikan dalam pengalaman hidup kita
adalah benda yang sebenarnya dan nyata, bukan khayalan atau bayangan. Filsafat
Aristoteles berpijak pada kenyataan yang berada di dunia nyata, oleh sebab itu
aliran filsafatnya disebut realisme.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong proses kehidupan umat
manusia di bumi ini ratusan tahun lebih maju dari abad-abad sebelumnya. Untuk
menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, sistem
pendidikan, teori pendidikan, dan filsafat pendidikan, dan peralatan pendidikan
tradisional tidak dapat menjawab tantangan zaman sekarang yang kita hadapi.
Filsafat
pendidikan tergantung pada filsafat umum sejauh masalah-masalah pendidikan itu
berkarakter filsafat umum. Kita tak dapat mengkritik adanya kebijakan pendidikan
atau menyarankan suatu yang baru tanpa mempertimbangkan masalah-masalah
filosofik, seperti (a) sifat hidup yang baik, (b) sifat manusia itu sendiri,
(c) sifat masyarakat, karena pendidikan adalah proses sosial, dan (d) sifat
realita yang utama, yang merupakan sasaran semua pengetahuan untuk ditembus.
Berpikir
sebagai manifestasi dari berfilsafat adalah suatu kegiatan yang sering
dilakukan manusia di dalam kehidupannya. Suriasumantri (1993:42) menegaskan
bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk berpikir, merasa, bersikap, dan
bertindak. Sikap dan tindakannya itu bersumber dari pengetahuan yang
diperolehnya melalui kegiatan berpikir dan merasa. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir, dan bukan dengan perasaan.
Akan tetapi, harus diketahui bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan
diri pada kegiatan penalaran, sebab ada kegiatan berpikir yang tidak
berdasarkan penalaran yakni intuisi. Penalaran sebagai suatu kegiatan berpikir
memiliki ciri-ciri tertentu, yakni (1) bersifat logis, artinya sebagai kegiatan
berpikir yang menurut suatu pola tertentu atau sesuai dengan logika, dan (2)
bersifat analitik artinya sebagai kegiatan berpikir dengan alur tertentu yang
merupakan konsekuensi dari adanya pola berpikir tersebut.
Berkaitan
dengan istilah logika, sebagai salah satu ciri kegiatan penalaran, Moeliono
(1989: 124) menyatakan bahwa pada hakikatnya logika adalah pengetahuan tentang
kaidah berpikir. Pendapat lain dikemukakan oleh Suriasumantri yang menegaskan
bahwa logika merupakan pengkajian untuk berpikir secara sahih, sedangkan
Poespoprojo (1985:5) menyatakan bahwa dalam logika dipelajari aturan atau
patokan-patokan yang harus diperhatikan untuk dapat berpikir secara
tepat,teliti, dan teratur agar mencapai kebenaran.
Metode ilmiah selalu mengarahkan dan
membatasi bahasa itu. Bahasa ilmiah sedapat mungkin bebas nilai. Pemerian
maupun keterangan mengenai keadaan nyata tidak tunduk kepada anjuran untuk
berbuat sesuatu dalam keadaan tertentu. Memang pada ilmu-ilmu terapan,
pemerian-pemerian semacam itu bersentuhan dengan bidang keputusan sahri-hari,
dan juga dipengaruhi olehnya. Namun dalam hal semacam ini pun akan diusahakan
agar masalah-masalah nilai yang akan muncul sedapat mungkin dikuasai oleh
metode ilmiah untuk membatasinya. Penilaian seakan-akan diterjemahkan ke dalam
bahasa ilmiah yang diatur dengan lebih ketat. Apabila seorang ekonom atau ahli
psikologi memakai istilah nilai maka artinya lebih khas dan lebih sempit
dibandingkan dengan artinya dalam bahasa sehari-hari, oleh karena itu lebih
tepat dipakai oleh ilmu. Bahasa ilmiah tidak ditujukan kepada pribadi-pribadi
yang bermakna. Dapat saja bahwa sains menelaah hubungan antara norma-norma
tertentu dengan para warga salah satu bagian kebudayaan.
Apabila
mengajarkan suatu ilmu, seseorang menggunakan bahasa harian untuk membahas ilmu
tertentu, namun dalam bahasa ilmu hal itu tidak mungkin. Dalam logika atau pada
bagian-bagian matematika mungkin perlu dirancangkan suatu metabahasa yang
misalnya bermaksud memperlihatkan bahwa objeknya adalah bahasa, sistem logis
atau matematis, dan taat asas. Inilah tanda bahwa pertama, metode suatu ilmu kiranya tidak pernah dapat menghasilkan
suatu sistem tertutup mutlak. Kedua
tidak dapat dihindari sekurang-kurangnya tidak langsung bahwa suatu sistem
bahasa akhirnya ditujukan pada dirinya sendiri,. Ketiga kiranya jelas bahwa bahasa ilmiah tidak dapat memencilkan
diri ke dalam strukturnya lepas dari bahasa harian. Bahasa harian ini mempunyai
kaidah-kaidah yang terpaut pada konteks.