Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)
Dari alamat
(sekolahdasar.net) yang bertanggal 15 Januari 2014, saya dapati artikel
anonim yang berjudul “Guru SD Wajib Berijazah PGSD Agar Dapat TPP”.
Artikel itu mengundang banyak komentar pro-kontra dan di-share
oleh banyak rekan di group-group terutama “komunitas pendidikan” FB.
Dan, sayapun secara “cepat” telah mereaksinya dengan menulis status yang
berjudul “Guru Ex SPG, Terancam Sertifikasinya?”. Jempol, komen dan share-pun juga banyak saya dapat. Namun, saya pandang, jawaban saya tersebut perlu saya lengkapi.
Bahwa isi pokok
artikel yang bernada “mengagetkan” bagi sebagian guru SD khususnya yang
berbasis SPG dan ber-S-1 Kependidikan tapi non-PGSD yang notabene
berbiaya sendiri (tidak seperti yang belakangan di-PGSD-kan APBN/APBD),
sebenarnya menurut saya merupakan interpretasi subyektif Permendikbud
No. 62 Tahun 2013 Tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dalam rangka
Penataan dan Pemerataan Guru.
Oleh artikel tersebut,
Permendikbud itu diinterpretasi sebagai berikut: pertama, Kemendikbud
mewajibkan guru SD memiliki ijazah PGSD untuk mendapatkan TPP. Kedua,
bagi guru SD yang belum memiliki ijazah PGSD harus segera kuliah lagi.
Dan, ketiga, guru SD yang berijazah tidak sesuai dengan sertifikat
profesinya hanya diberi TPP selama dua tahun.
Meskipun, jikalau
terjadi konflik interpretasi terhadap suatu produk hukum kewenangan
tafsir syahnya ada pada para fihak yang berwenang saja. Namun dalam
konteks ilmiah pada dasarnya adalah hak setiap orang untuk
mewacanakannya. Tapi tentu saja harus berkaidah sahih.
Bahwa, setiap produk
hukum harus dibaca secara kaffah (tuntas), tidak dipotong-potong sesuai
selera saja. Sedari konsideran yang notabene mencerminkan tujuan dan
latar belakang (asbabunnuzul) serta dasar hukum dari produk hukum itu
dilahirkan. Kemudian, ketentuan umumnya, lalu pasal demi pasalnya yang
saling terkait dalam satu kesatuan konstruksi, hingga mungkin ada
ketentuan peralihan serta ketentuan penutup dan pengundangannya.
Saya, melihat jelas,
bahwa penginterpretasian tersebut dilakukan secara parsial sehingga
menghasilkan konsklusi yang tidak sahih. Dalam hal ini saya teringat
betapa “jahatnya’ pemarsialan tafsir suatu hukum dalam al-Qur’an, bahwa “fawailullilmusollin” (celakalah bagi orang yang sholat). Padahal penuntasan interpretasi yang benar seharusnya adalah “fawailullilmoshollinaladzina ansholatihim sahun”
celakalah orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dari
sholatnya. Pun, penafsiran parsial itu, karena dipotong-potong juga
keliru fatal.
Kontra Tafsir
Dengan tidak mengacu
pada pola tafsir artikel itu, pada dasarnya saya mengajak pembaca
terutama yang berkepentingan, untuk membaca secara utuh Permendikbud
tersebut.
Ada 6 hal yang perlu dicatat. Pertama.
Mengapa Permendikbud itu dilahirkan, adalah karena pemerintah daerah
telah melakukan pemindahan guru-guru yang memiliki sertifikat pendidik
dengan menugaskan menjadi guru pada satuan pendidikan lain yang
berdampak kepada terjadinya ketidaksesuaian sertifikat yang dimiliki
dengan bidang tugas yang diampu (Konsideran menimbang (a)). Garis bawah:
kompasnya (patokannya) adalah sertifikat, sementara yang dituntun
adalah bidang tugas. Tidak ijazah.
Kedua.
Apa tujuan dari Permen ini? Bahwa, guru wajib mengampu bidang tugasnya
sesuai dengan sertifikat yang dimilikinya (Konsideran mengingat (b)).
Lagi, kompasnya adalah sertifikat, sementara yang dituntun adalah bidang
tugas. Tidak ijazah.
Sebagai bahan awal
analisa, perlu kiranya diingatkan kembali, apa yang dimaksud dengan
sertifikat, bidang tugas dan Ijazah —sebagaimana menjadi sebagian fokus
tafsir artikel itu.
Sertifikat dalam
konteks Permendikbud tersebut yang berkonsiderans (mengingat) atau
merujuk pada UU No. 14/2005 adalah sertifikat pendidik, yakni bukti
formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai
tenaga profesional .
Sementara itu yang
dimaksud dengan bidang tugas adalah sebagai guru bidang studi tertentu
atau guru kelas. (Dalam hal ini, lihat Pasal 2 Permendikbud tersebut).
Dan, ijazah adalah kualifikasi akademik (Lihat Pasal 1 UU 14/2005).
Ketiga. Siapa sih sebenarnya yang menjadi sasaran Permendikbud ini? Ia-lah Guru Dalam Jabatan (GDJ) (Pasal 1). Siapakah ia? Ia-lah guru yang telah memiliki sertifikat
pendidik yang dipindahkan untuk mengajar mata pelajaran lain atau guru
kelas yang tidak sesuai dengan sertifikat pendidiknya.
Jadi, ia
bersertifikat, ia dipindah untuk mengajar bidang tugas yang tidak
sesuai dengan sertifikat pendidiknya. Ya, sertifikat menjadi kompasnya,
bidang tugas menjadi ikutannya. Dan, pengertian GDJ ini menjadi pengunci
dalam tafsir setiap kostruk hukum dalam Permen ini. Kalau dipaksakan
lepas dari pengertian GDJ yang merupakan subyek hukum sasaran, maka ruh
dari Permen ini akan pula terlepas dan mati.
Keempat.
Bagaimana “menata” guru yang dimaksud oleh Permen ini? Ayat (1)
mengatakan bahwa, Guru Dalam Jabatan (GDJ), —demikian bunyinya, dapat
dipindahkan antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis
pendidikan, antar kabupaten/kota atau antar provinsi. Pemindahan guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada bidang tugas yang baru
didasarkan pada latar belakang sertifikasi atau kualifikasi akademik
yang dimilikinya (Pasal 2).
Perhatikan, dasar
pemindahan yang utama dan pertama adalah sertifikasi, baru pilihan yang
kedua, kualifikasi akademik (ijazah). Kata “atau” dalam hukum berarti
memilih salah satu. Beda dengan kata “dan/atau” yang artinya bisa salah
satu atau kedua-duanya.
Kelima.
Guru yang dipindahkan pada bidang tugas yang sesuai dengan latar
belakang kualifikasi akademik tetapi tidak sesuai dengan latar belakang
sertifikat pendidiknya wajib mengikuti sertifikasi sesuai dengan bidang
tugas baru yang diampunya (Pasal 2: ayat 3). Tidak disuruh kuliah S-1 apalagi S-2 lagi menyesuaikan kualifikasi akademiknya dengan sertifikat, tapi terbalik, cukup mengikuti sertifikasi lagi yang sesuai dengan bidang tugasnya.
Keenam. Guru yang dipindahkan pada
bidang tugas yang tidak sesuai dengan sertifikat yang dimiliki tetapi
mengampu beban kerja paling sedikit 24 jam tatap muka perminggu berhak
mendapat tunjangan profesi untuk selama jangka waktu dua tahun sejak
pindah tugas mengajar pada bidang tugas yang baru (yang tidak sesuai
dengan sertifikasi) (Pasal 5). Apakah pasal ini bisa diartikan bahwa
Guru SD yang berijazah tidak sesuai dengan sertifikat profesinya hanya
diberi TPP selama dua tahun? Tidak. Dengan melihat pasal-pasal yang
lain, maka pemaknaan seperti itu terputus logikanya.
Fakta di Lapangan
Dan, dari itu semua, bahwa guru ex SPG yang ber-S-1 Kependidikan non-PGSD, memiliki fakta sebagai berikut:
1). berbidang tugas sebagai Guru Kelas SD;
2). berkualifikasi akademik SPG yang notabene berbasis Guru Kelas SD yang “truly-asli”
dan ber-S-1 Kependidikan yang terbukti oleh praktek hukum sebagai
ijazah yang relevan —yakni diterima sebagai syarat sertifikasi dan unsur
utama yang diakui relevan dalam proses kenaikan pangkat;
3). bersertifikat pendidik yang juga berbidang tugas sebagai Guru Kelas SD, serta
4). semenjak
Permendikbud No. 62 Tahun 2013 yang diundangkan yang notabene efektif
mulai diberlakukan pada tanggal 30 Mei 2013, nyatanya hingga Desember
2014 ini TPP mereka tetap dibayarkan, maka sesungguhnyalah dalam
konstelasi Permendikbud tersebut tidak ada masalah bagi mereka.
Jikapun ada yang
“menakuti-nakuti” dengan analisa dan tafsir miring dari siapa saja,
barangkali itu hanyalah salah persepsi. Atau, setidaknya berbeda
persepsi.